Sabtu, 18 Juni 2016

RESISTENSI ANTIBIOTIKA, SEJAUH MANA YANG KITA TAHU ?

Antibiotic-resistant-bacteria
Sumber http://sustainablepulse.com/

Sebagai masyarakat awam, tentu kita sering acuh terhadap permasalahan kesehatan. Karena jujur kita nggak memiliki background kesehatan yang cukup, ya ato nggak?? Paham sih, tapi tidak begitu dalam, karena memang sebagian kita suka baca, berkat smartphone ya kan?? Okay, untuk mengenal lebih jauh mengenai penggagasan wacana penggunaan Antibiotik secara bijak maka kita perlu tahu, poin-poin penting dari Infeksi, prevalensi (angka kejadian) infeksi, kegunaan penggunaan antibiotik, akibat penggunaan antibiotik yang kurang bijak. Berikut sedikit ulasan ringkas dari berbagai sumber, agar kita semua peduli terhadap dunia kesehatan di masa mendatang. Karena untuk menjadi pribadi yang bermanfaat adalah mereka yang peduli terhadap generasi masa depan. Check this out..!
Penyakit infeksi adalah salah satu penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan, khususnya pada individu yang mudah terserang penyakit, dengan daya tahan tubuh yang rendah, serta masyarakat dengan ekonomi rendah (McPhee et al, 2000). Saat ini penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme, mencapai sekitar 25% dari angka kematian di dunia. Di negara berkembang, angka kejadiannya adalah 25% dari jumlah kematian. Tahun 2000, di Amerika Serikat  penyakit yang disebabkan oleh infeksi ada di urutan ke empat yang mengakibatkan kematian (Cook et al, 2006)
Penyakit infeksi juga salah satu masalah kesehatan terbesar di Indonesia. Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga dapat menyebabkan penyakit infeksi. Infeksi terbanyak (18%) terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita) adalah infeksi saluran nafas akut. Dari infeksi saluran nafas akut tersebut sebagian berasal dari komunitas (Community Acquired Pneumoniae) dan sebagian lagi dari rumah sakit (Hospital Acquired Pneumoniae) (Mulholland, 2005). Sedangkan berdasarkan penelitian, angka kejadian infeksi nosokomial pasien rawat inap di bangsal bedah adalah pada rentang 5,8%-6% dan angka infeksi nosokomial pada luka bedah adalah 2,3%-18,3%  (Hermawan, 2007). Selain itu, persentase angka kejadian infeksi nosokomial di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2006 sebesar 32,16% (Nasution, 2008). 
Masalah yang terkait saat ini adalah meningkatnya kekhawatiran akan tidak efektifnya obat pada pasien dengan infeksi bakteri (cook et al, 2006). Berdasarkan hasil penelitian pola kepekaan kuman terhadap antibiotik di ruang rawat intensif rumah sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002, bahwa pola kepekaannya menunjukkan kuman patogen yang diteliti (Pseudomonas sp. Klebsiella sp. Escherichia coli, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus) mempunyai resistensi tertinggi terhadap ampisilin, amoksisilin, penisilin G, tetrasilin dan klorampenikol (Refdanita et al, 2004). Hal ini menjadi permasalahan baru dalam dunia kesehatan, oleh karena itu perlu kita ketahui tentang penggunaan antibakteri untuk dapat mengatasi permasalahan bakteri yang resisten terhadap antibiotik/antimikroba. 

Apa resistensi antimikroba?

Sering kita dengar ya kalo saat kita ke dokter, atau apotek, si dokter/ si apoteker bilang kalau minum antibiotik harus dihabiskan ya. Sebenernya kenapa harus dihabiskan? Kenapa demikian?, kita sebagai orang awam pasti penasaran, yuk kita belajar apa itu resistensi antibiotik/antimikroba. Resistensi bakteri adalah dimana suatu obat antibiotik yang sudah tidak dapat menghambat atau membunuh perumbuhan bakteri patogen/bahaya. 

Perlu kita tahu, bahwa bakteri dan mikroba lainnya yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan menjadi semakin resisten terhadap obat yang sebelumnya efektif. Hal ini berpotensi menjadi masalah besar. WHO menyatakan bahwa kita sedang menuju "era pasca-antibiotik dimana infeksi umum dan luka ringan, yang tadinya dapat diobati selama puluhan tahun, namun pada era ini dapat membunuh pasien". Seorang pakar kesehatan menjelaskan resistensi terhadap antibiotik sebagai "tsunami yang sunyi, pilar runtuh yang di atasnya telah dibangun pengobatan modern".

Mengapa kita harus peduli dengan resistensi bakteri?

Menurut pendapat rektor Inggris, George Osborne, “resistensi antimikroba akan menjadi “ancaman yang lebih besar bagi umat manusia dari pada kanker" apabila tanpa adanya tindakan global.”

Apakah Osborne benar?

Jika upaya untuk mengekang resistensi antimikroba gagal, jumlah orang yang meninggal setiap tahun dari infeksi yang resistan terhadap obat bisa meningkat menjadi 10 juta pada tahun 2050. Hal ini akan melampaui 8,2 juta kematian per tahun disebabkan oleh kanker. Dame Sally Davies, direktur medis Inggris, mengatakan ancaman itu begitu serius. Itu harus ditambahkan oleh pemerintah sebagai daftar risiko nasional keadaan darurat sipil.

Apa perbedaan antara resistensi antimikroba dan resistensi antibiotik?

resistensi antibiotik adalah istilah sempit mengacu pada resistensi terhadap antibiotik untuk penyakit berbasis bakteri seperti tuberkulosis dan infeksi rumah sakit seperti MRSA. Resistensi antimikroba lebih luas meliputi infeksi yang disebabkan oleh mikroba lain seperti parasit yang menyebabkan malaria, HIV, dan jamur yang menyebabkan candida.

Bagaimana resistensi dapat terjadi?

Perkembangan strain resisten merupakan konsekuensi tak terelakkan dari seleksi alam. Ini terjadi ketika DNA bermutasi dalam mikro-organisme dan ketika sifat tahan dipertukarkan di antara mereka. Ahli obat David Cox menjelaskan apa yang terjadi pada tingkat molekuler, yak ni mutasi tersebut dapat mencegah antibiotik memasuki sel bakteri, mengubah molekul target sehingga mereka tidak mengikat antibiotik lagi, atau meningkatkan efisiensi mekanisme penghabisan dalam bakteri yang memungkinkan untuk hanya memompa obat keluar lagi . Gen tertentu, jika diperoleh, secara aktif dapat menurunkan antibiotik, membatasi efektivitas mereka setelah mereka sudah memasuki sel.

Mengapa hal ini dianggap sebagai masalah?

Infeksi yang disebabkan oleh tahan mikro-organisme, yang tidak merespon pengobatan normal, mengakibatkan penyakit lebih lama dan lebih berisiko kematian. Oleh karena itu permasalahan ini juga meningkatkan biaya kesehatan dengan pengobatan lebih mahal dan perawatan jangka panjang juga diperlukan.

Apa bukti bahwa permasalahan ini semakin buruk?

Infeksi yang resistan terhadap obat dapat membunuh sekitar 700.000 orang di seluruh dunia setiap tahun. Penelitian dalam beberapa penyakit fatal umumnya menunjukkan prevalensi luas dari strain yang resistan terhadap obat. Strain diobati dari penularan seksual -infection gonore telah terdeteksi di beberapa negara, termasuk strain yang sangat resistan terhadap obat di utara Inggris. Resistan terhadap obat TBC telah ditemukan di lebih dari 100 negara. Obat anti malaria yang ditemukan tidak memiliki efek pada strain malaria di wilayah Greater Mekong Asia Tenggara. Dan ketahanan pretreatment untuk terapi antiretroviral digunakan terhadap HIV telah ditemukan setinggi 22% di beberapa daerah.

Mengapa semakin parah?

Penyalahgunaan dan overprescription (over dalam peresepan obat) obat antimikroba, termasuk dalam pertanian, mempercepat evolusi strain yang resistan terhadap obat. Penggunaan antibiotik telah meningkat sebesar 36% dalam dekade terakhir tetapi tidak ada kelas obat baru. Hal ini telah ditemukan sejak 1980-an.

Mengapa obat baru tidak dikembangkan?

Sebagai bagian dari rencana aksi global terhadap resistensi antimikroba, WHO ingin memproduksi kelas baru antibiotik dalam pembangunan pada 2019. Tapi obat baru membutuhkan waktu dan uang untuk mengembangkan dan analis. Sebuah review 2015 mengenai resistensi antimikroba, ditemukan bahwa wacana ini lebih sering menguntungkan bagi perusahaan farmasi untuk pengembang obat yang ditujukan untuk penggunaan jangka panjang, seperti obat untuk mengobati diabetes atau penyakit jantung, daripada antibiotik, yang biasanya digunakan untuk beberapa hari.

Apa yang bisa petani dan industri daging lakukan untuk membantu?

Para ahli percaya penggunaan obat pada hewan ternak memiliki keterkaitan, melalui rantai makanan, dengan penyebaran infeksi tahan antimikroba (resistensi antimikroba) pada manusia. Industri daging telah menghadapi peningkatan tekanan, baik dari masyarakat maupun dari sektor swasta, untuk phase out penggunaan rutin antibiotik. Selain itu industri ternak juga mengumumkan akan mulai menawarkan ayam yang dipelihara tanpa menggunakan antibiotik. Perusahaan ternak mengakui bahwa adanya ancaman yang berlebihan pada penggunaan antibiotik bagi kesehatan manusia. Hal ini dapat dijadikan komitmen untuk menghilangkan antibiotik dari semua produk daging ayam, kalkun, daging sapi pada tahun 2025. Resto makanan cepat saji lain juga ikut memberlakukan kebijakan serupa. McDonald baru-baru ini mengumumkan akan memulai mendapatkan ayam yang diternak tanpa antibiotik. 


Apa yang bisa kita lakukan untuk menghidari resistensi antimikroba ?

Jika Anda diresepkan antibiotik, maka jangan pernah berbagi obat dengan yang lain, atau menggunakan obat sisa peresepan. Pemerhati kesehatan khawatir dengan tersedianya antibiotik untuk obat swamedikasi di banyak negara. WHO mengatakan bahwa obat antimikroba seharusnya hanya digunakan dengan peresepan dokter.

Haruskah dokter membatasi peresepan antibiotik ?

Benar sekali. WHO mendesak dokter hanya untuk meresepkan antibiotik jika benar-benar diperlukan. Di Inggris, Institute Nasional for Health and Care Excellence telah memperingatkan bahwa lebih dari 20 % dari resep yang dikeluarkan untuk antibiotik - atau sekitar 10m - cenderung tidak perlu.

SITASI

Pharmacy Times Magazine

Cook, F.L., and Kevin, F.C., 2006. Deadly Desease and Epidemics Staphilococcus aureus. Philadelphia: Chealsea House Publisher.

McPhee, J. B., Lewenza, S., and Hancock, R. E. 2003. Cationic antimicrobial peptides activate a two-component regulatory system, PmrA-PmrB, that regulates resistance to polymyxin B and cationic antimicrobial peptides in  Pseudomonas aeruginosa. Mol. Microbiol. 50, 205–217.

Hermawan, A. G. 2007. The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness.  Diunduh pada tanggal 31 Desember 2014 dari http://www.DexaMedia/publication_upload0706430655000118093134  5DexaMedia/edisi/april-jun2007.pdf.

Nasution, D.E., 2008. Pengaruh Motivasi Perawat Terhadap Tindakan Perawatan Pada Pasien Pasca Bedah di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan. Diunduh tanggal 28 Desember 2014 dari http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6702/1/09E00173.pdf

Mulholland, A., Bacterial infections - A major cause of death among children in Africa. NEJM 2005; 352:75-7.

Kamis, 16 Juni 2016

Potensi iPS Cell sebagai Terapi Komplikasi Retinopati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2

 Mufida, Dyah Rahmasari, Nur Farahiyah Amalina
Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. Secara umum, hampir 80% prevalensi Diabetes Mellitus adalah Diabetes Mellitus tipe 2 yang terjadi pada pasien geriatri dengan resiko besar adanya komplikasi mikrovaskuler. Salah satunya adalah retinopati yang menjadi penyebab utama kebutaan. Walaupun modalitas terapi retinopati diabetes telah mengalami kemajuan signifikan, namun masih sering mengalami kegagalan sehingga mortalitas tetap tinggi. Terapi sel punca memberikan harapan menjanjikan untuk terapi retinopati diabetes terutama bertujuan untuk meregenerasi sel-sel pada pembuluh-pembuluh kapiler retina. Namun pilihan sel punca yang tersedia memiliki banyak kelemahan. Penggunaan sel punca embrionik (ESC) terhambat isu etika karena melibatkan destruksi embrio, di samping kebutuhan imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan histokompatibilitas (alogenik). Sementara itu, sel punca dewasa (ASC) memiliki kapasitas kardiomiogenesis yang rendah, sumber yang terbatas, serta penurunan jumlah, fungsi, dan kapasitas diferensiasi seiring usia dan faktor penyakit. Oleh karena itu, diperlukan solusi alternatif terapi seluler yang memiliki keunggulan ESC dan ASC namun dengan keterbatasan intrinsik yang minimal. Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) bersifat pluripoten, berdaya proliferasi tinggi, serta dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan germinal dan memiliki kesamaan tinggi dengan ESC, namun terbebas dari isu etika karena bersifat autologus. Oleh karena itu, sangat menarik untuk menganalisis karateristik dan potensi iPSC sebagai terapi mutakhir untuk komplikasi retinopati diabetes.
Keyword atau kata kunci: Retinopati, iPS cell, Diabetes Mellitus Tipe 2


PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang DM terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.1
Secara umum, hampir 80% prevalensi Diabetes Mellitus adalah Diabetes Mellitus tipe 2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 sering menyerang orang di atas umur 50 tahun dan penderita obesitas.3
Meskipun beban diabetes sering digambarkan dalam usia kerja, penderita diabetes pada geriatri lebih berpotensi pada kematian. Pada pasien geriatri dengan diagnosis diabetes mellitus memiliki resiko besar adanya komplikasi mikrovaskuler dan komplikasi akut kardiovaskuler serta penyakit kronis.
Retinopati diabetika adalah suatu mikroangiopati pada retina yang progresif akibat DM yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus,4 meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.5 Retinopati  merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa.6
Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia diperkirakan mencapai 450 juta orang (7%dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini diperkirakan akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.7,8
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan.7,9
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatri.
Prevalensi yang mengancam pasien terkena komplikasi diabetes retinopati yakni terutama pasien dengan  diabetes menahun, dengan beberapa pengaruh dari usia dan jenis diabetes.
Prevalensi RD terus meningkat dengan peningkatan penyandang DM disertai gula darah tidak terkontrol. Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan.9 The Diab Care Asia 2008 Study melibatkan 1.785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.12
Saat ini, seiring dengan berkembangnya teknologi pengobatan, terapi pada penderita retinopati diabetes semakin bervariatif. Akan tetapi, beberapa terapi tersebut masih menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Berdasarkan berbagai penelitian mengungkapkan bahwa terapi yang berbasis sel merupakan salah satu solusi yang diharapkan agar dapat memperbaiki kondisi klinis dan menurunkan angka mortalitas pasien diabetes retinopati dengan tujuan meregenerasi sel-sel pembuluh darah pada retina

METODE
Data-data terkait iPS Cell sebagai terapi retinopati pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu berupa e-book dan media internet yang berisi jurnal terkait. Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan metode studi deskriptif. Dalam paper ini, analisis-sintesis diperoleh dengan metode komparasi antara terapi retinopati Diabetes Mellitus tipe II selama ini yaitu baik menggunakan laser (fotokoagulasi), vitrektomi maupun terapi medis, dengan terapi yang akan dikembangkan saat ini menggunakan iPS Cell kemudian dianalisis secara komprehensif terkait potensinya untuk terapi retinopati diabetes.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan intoleransi karbohidrat yang ditandai dengan resistensi insulin, defisiensi relatif (bukan absolut) insulin, kelebihan produksi glukosa hepar dan hiperglikemia. DM tipe 2 menjadi penyebab utama kebutaan karena komplikasi retinopati.11 Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila ada keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Patogenesis Diabetes Retinopati
Banyak jalur biokimia yang dapat mengubah metabolisme glukosa dari diabetes yang secara langsung mengembangkan dan membuat pergerakan dari diabetes retinopati. Dalam hal ini termasuk jalur glikemia (reduktase aldose, glikation protein, aktivasi proteinkinase C, adanya enzim angiotensin, adanya faktor pertumbuhan endotelial vaskular, dan sebagainya). Perubahan biokimia tersebut disertai dengan peningkatan permeabilitas melewati membran pada retina, dan kemudian menyebabkan peningkatan aliran darah pada retina. Pelebaran kaliber venula merupakan penanda terdapat retinopati yang parah.12
Kategori Diabetes Retinopati
Diabetes retinopati dikategorikan menjadi non-proliferasi (NPDR) dan proliferatif' (PDR).4
Patofisiologi Diabetes Retinopati
Diabetes retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan. Diabetes retinopati proliferatif merupakan Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis. Tahap akhir pada komplikasi ini dapat beresiko tinggi, yakni kehilangan penglihatan akibat diabetic makula edema (DME). DME merupakan penebalan di sekitar foveal, yang merupakan penyebab paling sering terjadi, gangguan penglihatan.4
Terapi Diabetes Retinopati
Pengobatan untuk diabetes retinopati yang terdapat pada Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy antara lain:
1.    Pengobatan laser (fotokoagulasi)
Fotokoagulasi secara signifikan dapat mengurangi resiko kehilangan penglihatan (kebutaan) dari pasien diabetes retinopati setidaknya 50%. Fotokoagulasi laser dilakukan menggunakan kira-kira selebar 200 hingga 500 μm dari fundus posterior menuju pusat panas. Meskipun pengobatan ini idealnya dipandu oleh angiografi fluorosens, namun pada banyak kasus hal ini sudah tidak dibutuhkan. Untuk pasien dengan resiko diabetes retinopati yang tinggi, pengobatan ini harus dilakukan sesegera mungkin. Pasien harus melakukan peninjauan secara teratur setelah pengobatan dengan laser ini sempurna. Apabila terjadi kegagalan atau terjadi perkembangan kembali dari tanda-tanda diabetes retinopati, maka dibutuhkan tambahan pengobatan menggunakan laser.
2.    Vitrektomi
Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DRVS) adalah terapi petunjuk untuk mengevaluasi indikasi dan waktu dari pars plana vitrektomi untuk pengobatan diabetes neuropati. Namun metode ini sudah tidak banyak digunakan karena menimbulkan komplikasi seperti perdarahan vitreous yang berulang, glaukoma, endoftalmitis rubeosis dan katarak prematur.
3.    Terapi medis
Hipertensi merupakan faktor resiko utama yang dapat diubah pada penderita diabetes retinopati. Obat anti hipertensi menunjukkan keuntungan bagi diabetes retinopati pada orang dengan diabetes, baik yang terjadi peningkatan tekanan darah maupun dengan tekanan darah normal. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzim) dan inhibitor protein kinase C (PKC) juga telah dievaluasi untuk efek pada diabetes retinopati, sebab diperkirakan termasuk enzim pada patogenesis diabetes retinopati. Sehingga, penurunan tekanan darah sendiri merupakan parameter penting yang menunjukkan pergerakan diabetes retinopati. Kelainan lipid juga dapat meningkatkan resiko diabetes retinopati. Obat-obat Anti-Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang diatur dengan injeksi intravitreal berulang. Pengobatan tersebut dapat diterima karena memiliki efek samping yang rendah pada okular, namun perlu diperhatikan dalam penggunaan intravitrealnya yang berulang.12
Namun seringkali terapi diabetes retinopati menyakitkan dan mengalami kegagalan. Sampai saat ini belum terdapat metode yang dapat meregenerasi pembuluh darah retina penderita diabetes retinopati dengan baik.
Terapi berbasis sel merupakan salah satu solusi yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi klinis dan menurunkan angka mortalitas pasien13 diabetes retinopati dengan tujuan meregenerasi sel-sel retina.
Keunggulan Terapi iPSC (Induced Pluripotent Stem Cell)
Pendekatan terapi sel berbasis mikroskopik mulai dikembangkan hingga telah diaplikasikan secara klinis berupa sel punca (stem cell therapy). Sel punca adalah sel primitif (baik totipoten, multipoten, maupun progenitor) yang dapat berdiferensiasi menjadi tipe sel spesifik (termasuk kardiomiosit) sehingga dapat mengganti area organ yang mengalami degenerasi dan mampu memperbaiki atau mengembalikan fungsi organ yang terganggu tersebut. 14,15
Klasifikasi sel punca berdasarkan proses derivasinya terbagi menjadi Embryonic Stem Cell (ESC) dan Adult Stem Cell (ASC). Penggunaan ESC secara rutin tidak memungkinkan karena alasan etika (akibat protokol yang destruktif terhadap embrio) dan prosedur imunosupresi jangka panjang akibat sifat ESC yang alogenik sehingga meyebabkan ketidakcocokan histokompatibilitas.16
Alternatif ESC adalah ASC. Hingga kini beberapa tipe ASC telah dikembangkan secara spesifik untuk meregenerasi kardiomiosit. ASC unggul terhadap ESC dari segi keamanan (tidak menimbulkan teratoma karena ASC bersifat multipoten dan/atau progenitor), etika (diperoleh secara autologus atau dari diri pasien sendiri sehingga tidak melibatkan embrio dalam derivasinya), dan bebas dari regimen imunsupresan. Namun ASC memiliki beberapa kelemahan, seperti penurunan jumlah, kapasitas  diferensiasi, dan fungsi seiring usia dan penyakit (diabetes melitus dan penyakit vaskuler).17 Hal ini sangat krusial mengingat kardiomiosit derivat ASC dipergunakan dalam terapi diabetes mellitus yang merupakan penyakit degeneratif dan sering dijumpai pada usia tua.
Oleh karena itu, diperlukan terapi sel punca yang memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC dengan keterbatasan yang minimal. Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) dapat menjadi alternatif potensial. iPSC merupakan sel punca yang diperoleh menggunakan teknologi cell reprogramming atau memprogram ulang sel somatik dewasa (misal fibroblas) menjadi sel pluripoten yang memiliki kapasitas proliferasi dan diferensiasi yang tidak terbatas dan mampu berdiferensiasi ulang menjadi seluruh tipe sel dari 3 lapisan germinal (seperti ESC) menggunakan empat faktor transkripsi (dikenal sebagai reaktivasi gen-gen pluripoten). iPSC bersifat autologus sehingga bebas dari isu etis dan regimen imunosupresan (seperti ASC). Selain itu, sel iPS dapat dibuat dari sel yang bukan stem cell dari tubuh pasien sendiri, yang berarti sel iPS dapat diberikan kembali kepada pasien tanpa resiko rejeksi imun, dimana merupakan permasalahan yang sangat penting bagi transplantasi stem cell manapun. Sehingga, secara praktis iPSC memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC dengan kelemahan yang minimal.
iPSC dan hESC (Human Embryonic Stem Cell) menunjukkan kesamaan profil ekspresi gen-gen secara global (genome). Analisis dengan RT-PCR dan DNA microarray menunjukkan bahwa iPSC mengekspresikan secara aktif gen-gen yang berfungsi mengatur sifat-sifat pembaharuan diri (self renewal) dan pluripotensi, seperti Oct4, Sox2, Nanog, Rex1, Gdf3, Fgf4, Esg1, DPPA2, DPPA4, dan hTERT yang  merupakan gen-gen penanda spesifik atau marker hESC. iPSC juga menunjukkan penekanan ekspresi (silencing) gen-gen regulator proses diferensiasi ke dalam jalur mesodermal (Brachyury, Mesp1), endodermal (Sox17, Foxa2), dan ektodermal (NeuroD1, Pax6). Ketika mulai berdiferensiasi, iPSC menunjukkan peningkatan ekspresi gen-gen regulator proses diferensiasi dan sebaliknya menunjukkan penurunan ekspresi gen-gen yang mempertahankan sifat pluripotensi dan self renewal.18
Keamanan Prosedur dan Kualitas iPSC
Keamanan dari reprogramming dan kualitas iPSC harus dipastikan sebelum teknologi iPSC dapat diterapkan secara klinis, terutama sebagai sumber regenerasi sel retina pada terapi diabetes retinopati. Mekanisme reprogramming iPSC yang lebih aman tanpa penggunaan vektor retrovirus dan faktor transkripsi onkogenik (konvensional) telah berhasil dikembangkan.
Mekanisme reprogramming iPSC pada fibroblast dan sel hati dengan menggunakan vektor adenovirus telah didemonstrasikan. iPSC yang dihasilkan dengan metode ini juga menunjukkan kesamaan karakteristik dengan hESC. Di samping itu, analisis PCR dan Southern Blot tidak menunjukkan bukti adanya integrasi transgen ke dalam genom iPSC. Metode penghantaran transgen dengan menggunakan sistem PiggyBac (PB) transposon/transposase juga berhasil dikembangkan. Dalam metode tersebut, transgen faktor reprogramming Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc ditransfer ke dalam plasmid PB-TET transposon (PB-TET-mFX) di bawah kendali transkripsional TetO2. Menariknya, insersi PB dapat dieliminasi dari genom iPSC dengan memanfaatkan aktivitas eksisi PB transposase ketika klon iPSC telah berhasil dibentuk.
iPSC juga dapat dihasilkan melalui transfeksi oriP/EBNA1 (Epstein-Barr Nuclear Antigen-1) episomal-based vectors pada fibroblast. oriP/EBNA1 sangat ideal untuk penghantaran transgen faktor reprogramming karena plasmid ini dapat ditansfeksikan secara langsung tanpa memerlukan penghantar virus dan dapat dieliminasi dari iPSC yang telah dihasilkan sehingga integrasi transgen ke dalam genom iPSC dapat dihindari. Transfeksi plamid yang membawa unit DNA komplementer (cDNA) terbukti mampu menghasilkan iPSC yang memiliki kesamaan karakterisitik dengan ESC dan terbebas dari integrasi plasmid.
Transfeksi protein rekombinan juga dapat digunakan untuk menginduksi proses reprogramming iPSC. Dalam metode tersebut, fusi domain transduksi protein poly-arginin pada ujung C terminus faktor transkripsi Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc dapat menghasilkan protein rekombinan yang mampu mempenetrasi sel, mengalami translokasi ke dalam nukleus, dan tetap stabil dalam sitoplasma. Protein rekombinan menawarkan metode reprogramming iPSC yang aman tanpa
melibatkan sedikitpun modifikasi struktur genom sel. Selain itu, iPSC yang dihasilkan juga memiliki kesamaan karakteristik dengan hESC. Selain penggunaan vektor retrovirus, factor transkripsi onkogenik seperti c-Myc dan Klf4 juga harus dihindari. Penelitian pada hewan uji coba menunjukkan bahwa reaktivasi c-Myc pada sel-sel derivat iPSC dapat meningkatkan risiko tumorigenesis pada mencit chimaera. Namun, iPSC dapat dihasilkan tanpa penggunaan c-Myc dan Klf4. Lin28 dan Nanog dapat digunakan sebagai faktor reprogramming pengganti c-Myc dan Klf4 dan tetap menghasilkan iPSC dengan karakteristik yang menyerupai hESC meskipun dengan efisiensi yang lebih rendah. Efisiensi reprogramming iPSC tanpa penggunann c-Myc selanjutnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan inhibitor HDAC (Histone Deacetylase), seperti asam valproat (VPA). iPSC yang dihasilkan dengan menggunakan Oct4, Sox2, dan VPA juga menunjukkan kesamaan karakteristik dengan hESC. Pada kondisi in vivo, injeksi subkutan iPSC pada mencit imunodefisien (SCID mice) menyebabkan terbentuknya teratoma yang tersusun atas sel-sel komponen 3 lapisan germinal, seperti sel-sel epitel usus, otot lurik, tulang rawan, adiposa, sel saraf, dan epidermis.
Kapasitas diferensiasi iPSC secara in utero pada model hewan uji coba telah didemonstrasikan. Injeksi murine iPSC ke dalam blastosist mencit berhasil membentuk mencit chimaera. Analisis pada mencit chimaera menunjukkan bahwa sel-sel derivat murine iPSC terdistribusikan dalam berbagai jaringan tubuh mencit chimaera, seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, lambung, limpa, otot, kulit, dan gonad. iPSC juga berkontribusi dalam membentuk sel-sel germinal pada mencit uji coba, seperti pada pembentukan spermatozoa. Dengan demikan, dapat disimpulkan bahwa iPSC merupakan sel pluripoten dengan karateristik yang sangat menyerupai hESC.19
Penelitian terbaru oleh Matthias Hebrok menunjukkan iPSC dapat berdiferensiasi terhadap sel β pankreas pada penderita Diabetes Mellitus tipe 1 yang bergantung pada insulin. iPSC dapat meregenerasi sel-sel β pankreas yang rusak sehingga dapat menghasilkan insulin. 20
sumber http://www.eurostemcell.org/factsheet/ips-cells-and-reprogramming-turn-any-cell-body-stem-cell
Kemampuan iPSC berdiferensiasi terhadap jaringan yang membutuhkan sangat bermanfaat untuk regenerasi sel-sel dan mengembalikan aliran darah vaskuler pada retina mata penderita diabetes retinopati.

KESIMPULAN
Terapi iPSC memiliki prospek menjanjikan sebagai terapi regeneratif pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2 dengan sifat pluripoten dan mekanisme diferensiasinya pada sel-sel pembuluh darah pada retina yang mengalami kebocoran akibat komplikasi retinopati diabetes yang beresiko tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

1.        Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000 and Projections for 2030. Diabetes Care. 2004;27:1047-53.
2.        Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Diakses pada tanggal 25 Agustus 2014. Diabetes Melitus Dapat Dicegah. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1314-diabetes-melitus-dapat-dicegah.html.
3.        Katzung, G.Betram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik  Edisi 10. Jakarta: Salemba Medika.
4.        Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika. hal.211-214.
5.        Nema HV. 2002. Textbook of Ophtalmology Edition 4. New Delhi: Medical Publishers. hal 249-251.
6.        Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010; 182(15):1646.
7.        Rochmah W. Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.p.1915-18.
8.        Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th ed. 2009. New York: McGraw Hill. p.363-70.
9.        Wong TY, Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski Global prevalence of diabetic retinopathy: Pooled data from population studies from the United States, Australia, Europe and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual Meeting; 2011.
10.    Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.
11.    Brasher, Valentina L. 2003. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
12.    Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy. 2008. Diakases pada tanggal 25 Agustus 2014. https://www.nhmrc.gov.au/guidelines/publications/di15.
13.    Wollert KC, Drexler H. Cell therapy for the treatment of coronary heart disease: a critical appraisal. Nature Review Cardiology 2010; 7: 204-15.
14.    Reinecke H, Murry CE. Taking the death toll after cardiomyocyte grafting: a reminder of the importance of quantitative biology. J Mol Cell Cardiol 2002; 34: 251-3.
15.    Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY, Field LJ. Genetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells form stable intracardiac grafts. J Clin Invest 1996; 98: 216-24.
16.    Das S, Bonaguidi M, Muro K, Kessler JA. Generation of embryonic stem cells: limiations of and alternatives to inner cell mass harvest. Neurosurg Focus 2008; 24: E4.
17.    Vasa M, Fichtscherer S, Aicher A, Adler K, Urbich C, Martin H, et al. Number and migratory activity of circulating endothelial progenitor cells inversely correlate with risk factors for coronary artery disease. Circulation Research 2001; 89: E1-E7.
18.    Itskovitz-Eldor J, Schuldiner M, Karsenti D, Eden A, Yanuka O, Amit M, et al. Differentiation of human embryonic stem cells into embryoid bodies compromising the three embryonic germ layers. Mol Med 2000;6(2):88-95.
19.    Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi. Derivasi Kardiomiosit Fungsional Berbasis Teknologi induced Pluripotent Stem (iPS) Cell sebagai Terapi Adjuvan Mutakhir Penyakit Jantung Iskemik. CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011.
20.    Matthias Hebrok. Generating β Cells from Stem Cells--The Story So Far. Cold Spring Harb Perspect Med 2012; 5(2):6-9.





















































Label