Tema : Lingkungan
Selendang Sumatera
Kerangka Cerpen :
1. Menceritakan tentang keluarga / tahap pengenalan
2. Diskusi tentang kesehatan lingkungan dan keadaan bumi
3. Berangkat les ke Gamma
4. Banjir
5. Situasi setelah banjir
6. Mencari saudara
7. Terjadinya konflik batin
8. Melupakan Selendang Sumatera, dan migrasi ke Solo
Gemercik rintikan hujan yang terdengar digenting kamarku, telah mengantarkan nafsu kantukku semakin dalam, dalam dan semakin dalam dalam walaupun mentari pagi masih menyelinap di balik gundukan awan-awan hitam. Berbagai hidangan mimpi indah telah aku nikmati, nikmatnya serasa kebab turkey,yang aku rasakan 3 bulan lalu ketika aku masih tinggal di kediri,jatim.… tapi tunggu dulu, “Shifa …. Shifa…. Shifa…. Ayo bangun nak, sudah jam 6 pagi ini…. Ayo cepat bangun sudah siang… nanti kamu terlambat sekolah.” Sentuhan lembut mulai menyadarkanku, dan “Ya Allah …. Uma jam berapa ini, aku belum sholat shubuh!!!, kataku sambil melotot karena kaget setelah melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB. Yach …. Maklumlah … akukan penggemar film “Prison Break” yang mainnya pukul 02.00 WIB, Seusai uma membangunkanku, aku langsung bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
“Shifa ayo nak … makan dulu sebelum berangkat.”tak beda dari 3 bulan yang lalu,ketika kami masih tinggal di kediri, dan sungguh alunan dan rayuan ibu menyegarkan hari keterlambatanku. “Iya uma, hari inikan aku masuk jam setengah delapan.” Di meja bundar itu telah tersedia sarapan martabak telor yang renyah. Rumah kami tak begitu besar dan tak begitu megah. Bagiku, kesederhanaan adalah sesuatu yang dapat menyeimbangkan kenikmatan hidup. “Shifa… nanti kalau pulang jangan sore-sore, soalnya tadi malam abi lihat TV, menurut Badan Meteorologi dan Geofisika sore ini aka ada hujan badai di wilayah timur Sumatera Hindia,” kegundahan seorang abi yang selalu khawatir padaku. “Apa… iya Abi … ! Ya Insyaallah dech … aku akan pulang siang, tapi aku nanti ada les di Gamma gimana Umu … Abi..? Aku sedikit menyangkal dan serata merayu dalam kemanjaan. “Ya pokoknya sore ini kamu sudah masuk di Gamma, jadi kamu bisa berlindung. “Ekspresi kesabaran telah memudarkan kerutan di kening abi, tapi … masih terbesik rasa khawatir diwajahnya. Bagiku, abi adalah sosok abi yang begitu kuat dan seorang penasihat handal, tapi … sosok orang tua masih tetap ada rasa khawatir pada anaknya. Ketika selarik sinar matahari mulai menembus pori-pori kelambu jendela, sempat terkenang masa indah bersama kak Nawira di meja ini saat menyantap martabak telor, he he he he … kak Nawira sekarang kuliah di Solo Fakultas Seni, tapi kalau akau pengen belajar tafsir Al-Qur’an saja, bagiku tafsir adalah segumpal berlian surga yang bisa memanacarkan berbagai ilmu-ilmu dunia dan akhirat. “Shifa, kok melamun, ayo berangkat sudah jam 7 ini,” Start awalan kicauan uma mulai menyadarkan lamunanku dalam rayuan cita-citaku. Akhirnya aku berangkat ditemani pahlawan hidupku, Abi.
Setiba-ku di sekolah, segerombolan anak-anak SMPN 1 LUBUK SIKAPING mulai berlarian dan bel sekolah sudah terdengar dari seberang jalan. Akupun mulai berlatih jogging bersama teman-teman hingga kakiku menapak di atas lantai kelas 9A dan akupun mencoba untuk menenangkan belaian nafasku yang terengah-engah juga jantungku yang terus bertabuh kencang layaknya tabuhan “Jimbe Gypse King”. Akupun masuk kelas dan pelajaran geografi dimulai. “Baik anak-anak sekarang kita akan memulai diskusi kita tentang lingkungan sekitar kita yang berdampak negative.” Ibu Ifa selaku guru geografi kami telah membuka forum diskusi di kelasku. Hari ini kelompokku yang mendapat giliran beradu pendapat. Kesenangan hatiku mulai merona ketika sesi pertanyaan dibuka. Temanku, Rifa adalah ahli geografi di antara kami dia akhirnya bertanya juga setelah sempat hening dalam diskusi ini. “Beberapa hari ini kita sering mendengar dan melihat bencana banjir dimana-mana, menurut anda, apakah hal yang sedemikian ini terjadi karena tidak berjalannya infiltrasi di ala mini?” Belum sempat kelompokku menjawab, “Tet… tet … tet “ bel pergantian jam berbunyi, pelajaran berikutnya pun segera berlanjut hingga mentari siang mulai menampakkan kesegarannya. Usai belajar di sekolah, aku segera beralih tempat ke Gamma. Anehnya suaca hari ini terlihat kurang bersahabat. Sang raja siang yang semula menampakkan kegarangannya, kini sudah tak berdaya tertutup gumpalan-gumpalan awan hitam yang berkumpul dan mulai menyatu layaknya karet hitam dilangit. Sesekali sambaran-sambaran anak kilat berbunyi. “Shifa … ayo kita langsung masuk kelas, mungkin guru kita sudah datang, hari ini waktunya matematika, pak jarwo kan?” Kahena temanku menyapa, “Iya mungkin, Kahena ayo cepat masuk … cuaca di luar sedang tak bersahabat dengan kita”. Kahena adalah temanku sejak kecil, dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, kami selalu bersama dan Insyaallah nanti kami akan masuk ke SMA yang sama pula
Angin bertiup dengan kencang mematahkan dahan-dahan rerantingan yang mulai berjatuhan bertumpuk-tumpuk. Persendianku serasa tertusk-tusuk akan kelincahan sang bayu. Bersamaan, angin bertiup kencang, hujan mulai membasahi halaman tempat bimbingan Gamma, dan juga hampir seluruh seragam sekolahku. Hujan terus berderai, angin terus bertiup kencang, kilat dan sambaran halilintar mulai memekakkan gendang telingaku. Terbesit dipikiranku, benar kata Abi bahwa hari ini akan ada badai besar di wilayah Timur Samudera Hindia. Sedikit rasa khawatir jika ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi, namun mungkin itu hanya lamunan melodi hatiku saja. Dan aku pun tak menggubris apa yang akan terjadi, rumahku dan bimbingan Gamma berada di satu desa yang sangat dekat sekali dengan induk sungai.. Jeddeerrrr, lap …” Gebrakan halilintar disertai kilatan cahayanya yang sangat mengerikan membuatku jantungan dan berteriak sekencang mungkin. Pelajaran yang sedang diajarkanpun tak ada yang masuk kedalam memori otakku. Tiba-tiba ada orang yang berteriak, “Air naik …. Air naik …,” di dalam kelas kami semua merasakan ketakutan, dan tak lama kemudian suasana di tempat bimbinganku berubah seperti pasar senin yang berada di Sumatera Barat. Di luar sana terdengar jeritan, teriakan masa yang kebingungan menyelematkan diri masing-masing. Begitu juga aku dan teman-teman bimbelku, kami berjubel-jubel menaiki tangga menuju lantai dua. Hanya satu harapan yang ada dipikiran setiap insan di hadapanku kini, “Aku harus selamat, aku harus hidup”. Begitu juga aku dan Kahena, kami berdua mencoba mengaitkan badan kami ke tangga untuk menyelematkan diri, tapi tiba-tiba, tangan Kahena lepas dari genggamanku. Aku ingin mencarinya, menuruni kembali anak tangga ini, tapi aku tak bisa karena air semakin naik dan mengandung arus.
Kebingungan terus menderai, teriakan menyebut Asma-Nya telah disebut dan dengar dari setiap mahlukNya. Tangisan dari hulu ke hilir mulai menghantar kenaikan air dari lantai bawah ke puncak bangunan Gamma. “Kahena .. Kahena .. Kahena ..” aku berteriak layaknya singa di kerumunan KERA . Tapi tak sedikitpun gelombang suara kahena dapat ku dengar, jangankan suaranya, paras cantiknya tak terdeteksi oleh mataku ini. Yang terlihat di sana sini hanyalah ribuan kaum manusia yang kebingungan mencari jalan menuju lantai atas. Air pun sudah mencapai 1 m/ 100 cm, terdengar suara “Gruuubraaaackkk”, “Ya Allah”, aku melatah menyebut AsmaNya. Ternyata, lintasan anak tangga itu roboh dan patah tepat di tengah-tengahnya.
Namun, ketika anak tangga itu roboh ternyata masih banyak kaun Adam dan Hawa berjubal masuk…. sungguh benar-benar tragis, termasuk Kahena yang sudah tak ada lagi kabar beritanya di dunia”, mungkin saat ini dia tengah menyiapkan berbagai jawaban atas pertanyaan dari malaikat di alam kubur nanti?” kataku dalam hati. Ketika air telah surut, banyak diantara kami kebingungan, berteriak, menangis, berwajah lesu, ekspresi kepiluan telah tercurah di dalam ruangan ini. Begitu juga dengan aku, aku benar-benar menyesal, penyesalan yang begitu luar biasa ketika aku tak dapat menyelematkan Kahena, teman sekaligus kakak bagiku. Aku menangis tersedu-sedu di pojok ruangan. Saat ini aku hanya bermimpikan seandainya saja aku dapat menyelamatkan Kahena, pasti aku tak akan mungkin semurung ini dan mungkin aku sedang menangis di atas pundak Kahena, dan kami saling berpelukan mengadukan kedukaan yang mendalam di atas kesedihan. Namun ini semua hanya lamunan mimpi yang tak akan berwujud kenyataan. Air telah surut, dan aku mulai menapaki lautan jasad manusia. Dengan kaki bergetar dan perasaan yang tak menentu aku mencari Kahena ditumpukkan orang syahid itu. Dan aku berteriak, “Kahena….” Bercucurlah luapan emosi, kesedihan dan penyesalan, ku peluk tubuhnya yang dipenuhi lumpur. Kahena telah tiada … dia telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Setelah berbagaia waktu dengan Kahena, aku mulai teringat, bagaimana abi dan uma di rumah. Aku mulai bingung,menoleh ke kiri dan ke kanan dengan kerutan di wajahku yang bercampur lumpur dan jiwaku yang mulai hancur. Aku berlari ke luar ruangan, dengan sedikit berputus asa aku mencoba menenangkan diri. Tapi, ternyata aku tak sanggup, air mata ini akhirnya keluar membasahi pipi ini. Aku mencoba menghubungi abi dan uma dengan cara menelpon di wartel sebelah Gamma, namun apa yang terjadi? Semua saluran telepon terputus dan aku gagal menanyakan kabar orang tuaku. Terbesit dibenakkuaku tak akan mungkin kehilangan uma dan abi di usia yang masih belia ini, aku masih sangat membutuhkan mereka, mereka amat berarti bagiku. Setelah itu aku berlari menghampiri sebuah rumah yang sudah roboh, tak ada satu tiangpun yang menyangganya, itu adalah rumahku… rumahku yang sederhana yang tak mampu menahan aliran sungai.
Aku meraba mencari di mana abi dan uma berada, tiba-tiba aku melihat tangan patah,beberapa jasad manusia tergeletak tak berarti dan aku berusaha menyingkirkan puing-puing yang sebenarnya begitu berat untuk, ku singkirkan. Tapi apalah daya bermilyar-milyar semangatku untuk menyelamatkan pehlawanku. Dan … Innalillahi wa innailaihi raji’un … mereka juga telah dipanggil oleh Allah SWT, dengan jasadnya yang saling berpelukan antara abi dan uma dengan sedikit senyuman diwajahnya. Kesedihan seberat ini tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Aku hanya terpuruk kaku melihat kedua orang tuaku yang tak sempat meninggalkan salam untukku dan kakakku. Aku menatap kepiluan ini hanya dengan seberkas asa. Gejolak jiwaku semakin menjadi-jadi. Dalam batin ini, akulah yang salah dan akulah yang patut untuk disalahkan. Mengapa orang-orang yang aku cintai tak bisa ku selamatkan, Kahena, Uma, Abi … apa arti hidupku sekarang tanpa mereka. Kemurkaan apa yang telah ku perbuat sehingga bertumpuk-tumpuk masalah, cobaan atau mungkin adzab dicurahkan kepadaku, apa salahku Ya … Allah ..?????? kenapa tak kau ambil saja nyawaku, mengapa tak kau putuskan nadiku, mengapa kau berikan cobaan seberat ini padaku … kenapa Ya Allah …!!! Semua jiwaku telah terselimuti oleh kerendahan diriku, aku terus menyalahkan diriku dan bodohnya lagi, aku telah menyalahkan keberadaan Rabbiku.
Aku ingin menangis, tapi apalah daya diri ini. Air mataku sudah habis untuk uma, abi dan Kahena, hanya keretakan jiwa yang ku-punya … sungguh tak tau kearah mana aku harus menapaki jalan hidupku. Aku tak selera lagi untuk menggapai cita-citaku, aku tak sanggup lagi memulai hidup baru. Bagiku …. Semenjak kejadian ini tak akan nada lagi teropong masa depan dan tak ada lagi martabak telor buatan uma …. Gumaman tak kenal arah telah ku ucapkan, seribu kenangan hilang bersamanya. Disini aku semakin menggila. Seseorang datang menghampiriku. “ Nak … sudahlah, ini adalah takdir Allah SWT, seharusnya kamu harus bersyukur karena InsyaAllah orang-orang yang meninggal ini termasuk orang-orang yang mati syahid. Apalagi orang tuamu adalah orang-orang yang taat akan perintahNya. Sudahlah nak … serahkan semua kepada Allah SWT, mari kita membaca Al-Qur’an untuk mereka-mereka yang sudah menghadap pada sang Pencipta”.
Akupun berdiri dengan sisa semangatku untuk berwudlu dan membaca kitab-Nya. Selagi hari mulai gelap hati terus berpikir kemana aku harus berada. Subhanallah … mungkin mukjijat telah datang kepadaku, seorang bapak tadi mengajakku pindah ke Solo dan disana masih ada saudaraku, kak Nawira. Dengan perlahan, semangatku mulai terlahir, iya … mungkin semua ini adalah tadirNya dan menunjukkanku ke jalan yang benar untuk bisa mempelajari tafsir Al-Qur’an. Kalau saja aku berpikir mati, pasti Islam tak ada dalam jiwaku, dan ilmu Al-Qur’an tak akan ku kuasai. Sungguh, Allahu akbar …. Allahu akbar …Allahu Akbar tak seorangpun tau di balik kekuasaanNya terdapat segudang hikmah.Dan keesokan harinya aku pun berangkat ke solo.
Selang beberapa waktu aku mulai mencium aroma rumah kontrakan kak Nawira. Dan akhirnya aku muulai turun dan, “Terima kasih pak … atas tumpangannya, semoga Allah membalas ketulusan hati bapak. “Dan orang itu pun pergi dan tak kembali … aku berjanji, mulai hari ini tak akan ada kesedihan dalam duniaku karena semua cobaan akan membawakan kebahagiaan untukku. Aku sudah tak ingin mengenang janji-janji di ujung karang Sumatera serta telah ku hapus semua folder-folder Selendang Sumatera. Kini biarkan aku hidup dengan tenang bersama kak Nawira, saudara tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar