Mufida, Dyah Rahmasari, Nur Farahiyah Amalina
Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronik degeneratif
tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. Secara umum, hampir
80% prevalensi Diabetes Mellitus adalah Diabetes Mellitus tipe 2 yang terjadi
pada pasien geriatri dengan resiko besar adanya komplikasi mikrovaskuler. Salah
satunya adalah retinopati yang menjadi penyebab utama kebutaan. Walaupun
modalitas terapi retinopati diabetes telah mengalami kemajuan signifikan, namun
masih sering mengalami kegagalan sehingga mortalitas tetap tinggi. Terapi sel
punca memberikan harapan menjanjikan untuk terapi retinopati diabetes terutama
bertujuan untuk meregenerasi sel-sel pada pembuluh-pembuluh kapiler retina. Namun pilihan sel punca yang
tersedia memiliki banyak kelemahan. Penggunaan sel punca embrionik (ESC)
terhambat isu etika karena melibatkan destruksi embrio, di samping kebutuhan
imunosupresi jangka panjang akibat ketidakcocokan histokompatibilitas
(alogenik). Sementara itu, sel punca dewasa (ASC) memiliki kapasitas
kardiomiogenesis yang rendah, sumber yang terbatas, serta penurunan jumlah,
fungsi, dan kapasitas diferensiasi seiring usia dan faktor penyakit. Oleh
karena itu, diperlukan solusi alternatif terapi seluler yang memiliki
keunggulan ESC dan ASC namun dengan keterbatasan intrinsik yang minimal.
Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) bersifat pluripoten,
berdaya proliferasi tinggi, serta dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan
germinal dan memiliki kesamaan tinggi dengan ESC, namun terbebas dari isu etika
karena bersifat autologus. Oleh karena itu, sangat menarik untuk menganalisis
karateristik dan potensi iPSC sebagai terapi mutakhir untuk komplikasi
retinopati diabetes.
Keyword atau kata kunci: Retinopati, iPS cell,
Diabetes Mellitus Tipe 2
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik
degeneratif tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga
menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah
penyandang DM terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.1
Secara umum, hampir 80% prevalensi Diabetes Mellitus adalah
Diabetes Mellitus tipe 2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 sering
menyerang orang di atas umur 50 tahun dan penderita obesitas.3
Meskipun beban diabetes sering
digambarkan dalam usia kerja, penderita diabetes pada geriatri lebih berpotensi
pada kematian. Pada pasien geriatri dengan diagnosis diabetes mellitus memiliki
resiko besar adanya komplikasi mikrovaskuler dan komplikasi akut kardiovaskuler
serta penyakit kronis.
Retinopati diabetika adalah suatu mikroangiopati pada retina yang progresif akibat DM yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus,4 meliputi
arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.5 Retinopati merupakan penyebab utama kebutaan pada orang
dewasa.6
Pada saat ini, jumlah usia lanjut
(lansia, berumur >65 tahun) di dunia diperkirakan mencapai 450 juta orang
(7%dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini diperkirakan akan terus
meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula
darah puasa normal.7,8
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat
seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data
WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan
naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada
2 jam setelah makan.7,9
Seiring dengan pertambahan usia,
lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak
konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang
memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular
maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatri.
Prevalensi yang mengancam pasien terkena komplikasi
diabetes retinopati yakni terutama pasien dengan diabetes menahun, dengan beberapa pengaruh
dari usia dan jenis diabetes.
Prevalensi RD terus meningkat dengan peningkatan
penyandang DM disertai gula darah tidak terkontrol. Penelitian epidemiologis di
Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita
retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta
pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan.9 The Diab Care
Asia 2008 Study melibatkan 1.785 penderita DM pada
18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42%
penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan
retinopati DM proliferatif.12
Saat ini, seiring dengan berkembangnya teknologi
pengobatan, terapi pada penderita retinopati diabetes semakin bervariatif. Akan
tetapi, beberapa terapi tersebut masih menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan. Berdasarkan berbagai penelitian mengungkapkan bahwa terapi yang berbasis sel merupakan salah satu solusi yang diharapkan agar dapat memperbaiki kondisi klinis dan
menurunkan angka mortalitas pasien diabetes retinopati dengan tujuan
meregenerasi sel-sel pembuluh darah pada retina
METODE
Data-data terkait iPS Cell
sebagai terapi retinopati pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu berupa e-book dan media internet yang berisi jurnal
terkait. Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan metode studi deskriptif. Dalam paper ini, analisis-sintesis diperoleh
dengan metode komparasi antara terapi retinopati Diabetes Mellitus tipe II
selama ini yaitu baik menggunakan laser (fotokoagulasi), vitrektomi maupun
terapi medis, dengan terapi yang akan dikembangkan saat ini menggunakan iPS
Cell kemudian dianalisis secara komprehensif terkait potensinya untuk terapi
retinopati diabetes.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan intoleransi karbohidrat yang ditandai dengan resistensi
insulin, defisiensi relatif (bukan absolut) insulin, kelebihan produksi glukosa
hepar dan hiperglikemia. DM tipe 2 menjadi penyebab utama kebutaan karena
komplikasi retinopati.11 Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila
ada keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Patogenesis
Diabetes Retinopati
Banyak jalur biokimia yang dapat mengubah
metabolisme glukosa dari diabetes yang secara langsung mengembangkan dan
membuat pergerakan dari diabetes retinopati. Dalam hal ini termasuk jalur
glikemia (reduktase aldose, glikation protein, aktivasi proteinkinase C, adanya
enzim angiotensin, adanya faktor pertumbuhan endotelial vaskular, dan
sebagainya). Perubahan biokimia tersebut disertai dengan peningkatan permeabilitas
melewati membran pada retina, dan kemudian menyebabkan peningkatan aliran darah
pada retina. Pelebaran kaliber venula merupakan penanda terdapat retinopati
yang parah.12
Kategori Diabetes
Retinopati
Diabetes
retinopati dikategorikan menjadi non-proliferasi (NPDR)
dan proliferatif' (PDR).4
Patofisiologi Diabetes
Retinopati
Diabetes retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai
dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam retina. Dalam stadium
ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari
pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di
makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka
akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan. Diabetes
retinopati proliferatif merupakan Iskemia retina yang progresif merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan
kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di
permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa
terjadi neovascularisasi disebut rubeosis. Tahap akhir pada
komplikasi ini dapat beresiko tinggi, yakni kehilangan penglihatan akibat
diabetic makula edema (DME). DME merupakan penebalan di sekitar foveal, yang
merupakan penyebab paling sering terjadi, gangguan penglihatan.4
Terapi
Diabetes Retinopati
Pengobatan
untuk diabetes retinopati yang terdapat pada Guidelines for the Management
of Diabetic Retinopathy antara lain:
1. Pengobatan laser (fotokoagulasi)
Fotokoagulasi secara signifikan dapat
mengurangi resiko kehilangan penglihatan (kebutaan) dari pasien diabetes
retinopati setidaknya 50%. Fotokoagulasi laser dilakukan menggunakan kira-kira
selebar 200 hingga 500 μm dari fundus posterior menuju pusat panas. Meskipun
pengobatan ini idealnya dipandu oleh angiografi fluorosens, namun pada banyak
kasus hal ini sudah tidak dibutuhkan. Untuk pasien dengan resiko diabetes
retinopati yang tinggi, pengobatan ini harus dilakukan sesegera mungkin. Pasien
harus melakukan peninjauan secara teratur setelah pengobatan dengan laser ini
sempurna. Apabila terjadi kegagalan atau terjadi perkembangan kembali dari
tanda-tanda diabetes retinopati, maka dibutuhkan tambahan pengobatan
menggunakan laser.
2. Vitrektomi
Diabetic
Retinopathy Vitrectomy Study (DRVS) adalah terapi petunjuk untuk mengevaluasi
indikasi dan waktu dari pars plana vitrektomi untuk pengobatan diabetes
neuropati. Namun metode ini sudah tidak banyak digunakan karena menimbulkan
komplikasi seperti perdarahan vitreous yang berulang, glaukoma, endoftalmitis
rubeosis dan katarak prematur.
3. Terapi medis
Hipertensi
merupakan faktor resiko utama yang dapat diubah pada penderita diabetes
retinopati. Obat anti hipertensi menunjukkan keuntungan bagi diabetes
retinopati pada orang dengan diabetes, baik yang terjadi peningkatan tekanan
darah maupun dengan tekanan darah normal. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzim) dan inhibitor protein kinase C (PKC)
juga telah dievaluasi untuk efek pada diabetes retinopati, sebab diperkirakan
termasuk enzim pada patogenesis diabetes retinopati. Sehingga, penurunan
tekanan darah sendiri merupakan parameter penting yang menunjukkan pergerakan
diabetes retinopati. Kelainan lipid juga dapat meningkatkan resiko diabetes
retinopati. Obat-obat Anti-Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang diatur dengan injeksi intravitreal
berulang. Pengobatan tersebut dapat diterima karena memiliki efek samping yang
rendah pada okular, namun perlu diperhatikan dalam penggunaan intravitrealnya
yang berulang.12
Namun
seringkali terapi diabetes retinopati menyakitkan dan mengalami kegagalan.
Sampai saat ini belum terdapat metode yang dapat meregenerasi pembuluh
darah retina penderita diabetes retinopati dengan baik.
Terapi berbasis sel merupakan salah satu solusi yang
diharapkan dapat memperbaiki kondisi klinis dan menurunkan angka mortalitas
pasien13 diabetes retinopati dengan tujuan
meregenerasi sel-sel retina.
Keunggulan Terapi iPSC (Induced Pluripotent Stem Cell)
Pendekatan terapi sel berbasis mikroskopik mulai
dikembangkan hingga telah diaplikasikan secara klinis berupa sel punca (stem
cell therapy). Sel punca adalah sel primitif (baik totipoten, multipoten,
maupun progenitor) yang dapat berdiferensiasi menjadi tipe sel spesifik
(termasuk kardiomiosit) sehingga dapat mengganti area organ yang mengalami
degenerasi dan mampu memperbaiki atau mengembalikan fungsi organ yang terganggu
tersebut. 14,15
Klasifikasi sel punca berdasarkan proses derivasinya
terbagi menjadi Embryonic Stem Cell (ESC) dan Adult Stem Cell (ASC).
Penggunaan ESC secara rutin tidak memungkinkan karena alasan etika (akibat
protokol yang destruktif terhadap embrio) dan prosedur imunosupresi jangka
panjang akibat sifat ESC yang alogenik sehingga meyebabkan ketidakcocokan histokompatibilitas.16
Alternatif ESC adalah ASC. Hingga kini beberapa tipe ASC
telah dikembangkan secara spesifik untuk meregenerasi kardiomiosit. ASC unggul
terhadap ESC dari segi keamanan (tidak menimbulkan teratoma karena ASC bersifat
multipoten dan/atau progenitor), etika (diperoleh secara autologus atau dari
diri pasien sendiri sehingga tidak melibatkan embrio dalam derivasinya), dan
bebas dari regimen imunsupresan. Namun ASC memiliki beberapa kelemahan, seperti
penurunan jumlah, kapasitas
diferensiasi, dan fungsi seiring usia dan penyakit (diabetes melitus dan
penyakit vaskuler).17 Hal ini sangat krusial mengingat
kardiomiosit derivat ASC dipergunakan dalam terapi diabetes mellitus yang
merupakan penyakit degeneratif dan sering dijumpai pada usia tua.
Oleh karena itu, diperlukan terapi sel punca yang
memiliki seluruh keunggulan ESC dan ASC dengan keterbatasan yang minimal.
Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) dapat menjadi alternatif
potensial. iPSC merupakan sel punca yang diperoleh menggunakan teknologi cell
reprogramming atau memprogram ulang sel somatik dewasa (misal fibroblas)
menjadi sel pluripoten yang memiliki kapasitas proliferasi dan diferensiasi
yang tidak terbatas dan mampu berdiferensiasi ulang menjadi seluruh tipe sel
dari 3 lapisan germinal (seperti ESC) menggunakan empat faktor transkripsi
(dikenal sebagai reaktivasi gen-gen pluripoten). iPSC bersifat autologus
sehingga bebas dari isu etis dan regimen imunosupresan (seperti ASC). Selain
itu, sel iPS dapat dibuat dari sel yang bukan stem cell dari tubuh pasien
sendiri, yang berarti sel iPS dapat diberikan kembali kepada pasien tanpa
resiko rejeksi imun, dimana merupakan permasalahan yang sangat penting bagi
transplantasi stem cell manapun. Sehingga, secara praktis iPSC memiliki seluruh
keunggulan ESC dan ASC dengan kelemahan yang minimal.
iPSC dan hESC (Human Embryonic Stem Cell)
menunjukkan kesamaan profil ekspresi gen-gen secara global (genome).
Analisis dengan RT-PCR dan DNA microarray menunjukkan bahwa iPSC
mengekspresikan secara aktif gen-gen yang berfungsi mengatur sifat-sifat
pembaharuan diri (self renewal) dan pluripotensi, seperti Oct4, Sox2,
Nanog, Rex1, Gdf3, Fgf4, Esg1, DPPA2, DPPA4, dan hTERT yang merupakan gen-gen penanda spesifik atau
marker hESC. iPSC juga menunjukkan penekanan ekspresi (silencing) gen-gen
regulator proses diferensiasi ke dalam jalur mesodermal (Brachyury, Mesp1),
endodermal (Sox17, Foxa2), dan ektodermal (NeuroD1, Pax6). Ketika
mulai berdiferensiasi, iPSC menunjukkan peningkatan ekspresi gen-gen regulator
proses diferensiasi dan sebaliknya menunjukkan penurunan ekspresi gen-gen yang
mempertahankan sifat pluripotensi dan self renewal.18
Keamanan Prosedur dan Kualitas iPSC
Keamanan dari reprogramming dan kualitas iPSC
harus dipastikan sebelum teknologi iPSC dapat diterapkan secara klinis,
terutama sebagai sumber regenerasi sel retina pada terapi diabetes retinopati. Mekanisme
reprogramming iPSC yang lebih aman tanpa penggunaan vektor retrovirus
dan faktor transkripsi onkogenik (konvensional) telah berhasil dikembangkan.
Mekanisme reprogramming iPSC pada fibroblast dan
sel hati dengan menggunakan vektor adenovirus telah didemonstrasikan. iPSC yang dihasilkan dengan
metode ini juga menunjukkan kesamaan karakteristik dengan hESC. Di samping itu,
analisis PCR dan Southern Blot tidak menunjukkan bukti adanya integrasi
transgen ke dalam genom iPSC. Metode penghantaran transgen dengan
menggunakan sistem PiggyBac (PB) transposon/transposase juga
berhasil dikembangkan. Dalam metode tersebut, transgen faktor reprogramming
Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc ditransfer ke dalam plasmid PB-TET
transposon (PB-TET-mFX) di bawah kendali transkripsional TetO2. Menariknya,
insersi PB dapat dieliminasi dari genom iPSC dengan memanfaatkan aktivitas
eksisi PB transposase ketika klon iPSC telah berhasil dibentuk.
iPSC juga dapat dihasilkan melalui transfeksi oriP/EBNA1
(Epstein-Barr Nuclear Antigen-1) episomal-based vectors pada fibroblast.
oriP/EBNA1 sangat ideal untuk penghantaran transgen faktor reprogramming karena
plasmid ini dapat ditansfeksikan secara langsung tanpa memerlukan penghantar
virus dan dapat dieliminasi dari iPSC yang telah dihasilkan sehingga integrasi
transgen ke dalam genom iPSC dapat dihindari. Transfeksi plamid yang membawa
unit DNA komplementer (cDNA) terbukti mampu menghasilkan iPSC yang
memiliki kesamaan karakterisitik dengan ESC dan terbebas dari integrasi
plasmid.
Transfeksi protein rekombinan juga
dapat digunakan untuk menginduksi proses reprogramming iPSC. Dalam
metode tersebut, fusi domain transduksi protein poly-arginin pada ujung
C terminus faktor transkripsi Oct4, Sox2, Klf4, dan c-Myc dapat
menghasilkan protein rekombinan yang mampu mempenetrasi sel, mengalami
translokasi ke dalam nukleus, dan tetap stabil dalam sitoplasma. Protein
rekombinan menawarkan metode reprogramming iPSC yang aman tanpa
melibatkan sedikitpun modifikasi struktur genom sel.
Selain itu, iPSC yang dihasilkan juga memiliki kesamaan karakteristik dengan
hESC. Selain penggunaan vektor retrovirus, factor transkripsi onkogenik seperti
c-Myc dan Klf4 juga harus dihindari. Penelitian pada hewan uji
coba menunjukkan bahwa reaktivasi c-Myc pada sel-sel derivat iPSC dapat
meningkatkan risiko tumorigenesis pada mencit chimaera. Namun, iPSC
dapat dihasilkan tanpa penggunaan c-Myc dan Klf4. Lin28 dan Nanog
dapat digunakan sebagai faktor reprogramming pengganti c-Myc dan
Klf4 dan tetap menghasilkan iPSC dengan karakteristik yang menyerupai
hESC meskipun dengan efisiensi yang lebih rendah. Efisiensi reprogramming iPSC
tanpa penggunann c-Myc selanjutnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan
inhibitor HDAC (Histone Deacetylase), seperti asam valproat (VPA). iPSC
yang dihasilkan dengan menggunakan Oct4, Sox2, dan VPA juga menunjukkan
kesamaan karakteristik dengan hESC. Pada kondisi in vivo, injeksi
subkutan iPSC pada mencit imunodefisien (SCID mice) menyebabkan terbentuknya
teratoma yang tersusun atas sel-sel komponen 3 lapisan germinal, seperti
sel-sel epitel usus, otot lurik, tulang rawan, adiposa, sel saraf, dan
epidermis.
Kapasitas diferensiasi iPSC secara in
utero pada model hewan uji coba telah didemonstrasikan. Injeksi murine iPSC ke
dalam blastosist mencit berhasil membentuk mencit chimaera. Analisis
pada mencit chimaera menunjukkan bahwa sel-sel derivat murine iPSC
terdistribusikan dalam berbagai jaringan tubuh mencit chimaera, seperti
otak, paru-paru, hati, ginjal, lambung, limpa, otot, kulit, dan gonad. iPSC
juga berkontribusi dalam membentuk sel-sel germinal pada mencit uji coba,
seperti pada pembentukan spermatozoa. Dengan demikan, dapat disimpulkan bahwa
iPSC merupakan sel pluripoten dengan karateristik yang sangat menyerupai hESC.19
Penelitian terbaru oleh Matthias Hebrok menunjukkan iPSC
dapat berdiferensiasi terhadap sel β pankreas pada penderita Diabetes Mellitus
tipe 1 yang bergantung pada insulin. iPSC dapat meregenerasi sel-sel β pankreas
yang rusak sehingga dapat menghasilkan insulin. 20
sumber http://www.eurostemcell.org/factsheet/ips-cells-and-reprogramming-turn-any-cell-body-stem-cell |
Kemampuan iPSC berdiferensiasi terhadap jaringan yang
membutuhkan sangat bermanfaat untuk regenerasi sel-sel dan mengembalikan aliran
darah vaskuler pada retina mata penderita diabetes retinopati.
KESIMPULAN
Terapi iPSC memiliki prospek
menjanjikan sebagai terapi regeneratif pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2
dengan sifat pluripoten dan mekanisme diferensiasinya pada sel-sel pembuluh
darah pada retina yang mengalami kebocoran akibat komplikasi retinopati
diabetes yang beresiko tinggi.
NB kunjungi web http://www.eurostemcell.org/factsheet/ips-cells-and-reprogramming-turn-any-cell-body-stem-cell
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H.
Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000 and Projections for
2030. Diabetes Care. 2004;27:1047-53.
2.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
(2009). Diakses pada tanggal 25 Agustus 2014. Diabetes Melitus Dapat Dicegah. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1314-diabetes-melitus-dapat-dicegah.html.
3.
Katzung, G.Betram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi
10. Jakarta: Salemba Medika.
4.
Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000.
Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika. hal.211-214.
5.
Nema HV. 2002. Textbook of Ophtalmology
Edition 4. New Delhi: Medical Publishers. hal 249-251.
6.
Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy.
CMAJ. 2010; 182(15):1646.
7.
Rochmah W. Diabetes Mellitus pada Usia
Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.p.1915-18.
8.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B.
Essentials of Clinical Geriatrics. 6th ed. 2009. New York: McGraw Hill.
p.363-70.
9.
Wong TY, Yau J, Rogers S, Kawasaki R,
Lamoureux EL, Kowalski Global prevalence of diabetic retinopathy: Pooled data from
population studies from the United States, Australia, Europe and Asia.
Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual
Meeting; 2011.
10.
Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto
A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on
control and complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. Med J
Indones. 2010;19(4):235-43.
11.
Brasher, Valentina L. 2003. Aplikasi Klinis
Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
12.
Guidelines for the Management of Diabetic
Retinopathy. 2008. Diakases pada tanggal 25 Agustus 2014. https://www.nhmrc.gov.au/guidelines/publications/di15.
13.
Wollert KC, Drexler H. Cell therapy for the
treatment of coronary heart disease: a critical appraisal. Nature Review
Cardiology 2010; 7: 204-15.
14.
Reinecke H, Murry CE. Taking the death toll
after cardiomyocyte grafting: a reminder of the importance of quantitative
biology. J Mol Cell Cardiol 2002; 34: 251-3.
15.
Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY, Field LJ.
Genetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells
form stable intracardiac grafts. J Clin Invest 1996; 98: 216-24.
16.
Das S, Bonaguidi M, Muro K, Kessler JA. Generation
of embryonic stem cells: limiations of and alternatives to inner cell mass
harvest. Neurosurg Focus 2008; 24: E4.
17.
Vasa M, Fichtscherer S, Aicher A, Adler K,
Urbich C, Martin H, et al. Number and migratory activity of circulating
endothelial progenitor cells inversely correlate with risk factors for coronary
artery disease. Circulation Research 2001; 89: E1-E7.
18.
Itskovitz-Eldor J, Schuldiner M, Karsenti D,
Eden A, Yanuka O, Amit M, et al. Differentiation of human embryonic stem cells
into embryoid bodies compromising the three embryonic germ layers. Mol Med
2000;6(2):88-95.
19.
Andreas Soejitno, Pande Kadek Aditya Prayudi.
Derivasi Kardiomiosit Fungsional Berbasis Teknologi induced Pluripotent Stem
(iPS) Cell sebagai Terapi Adjuvan Mutakhir Penyakit Jantung Iskemik.
CDK 184/Vol.38 no.3/April 2011.
20.
Matthias
Hebrok. Generating β Cells from Stem Cells--The Story So Far. Cold Spring
Harb Perspect Med 2012; 5(2):6-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar